Perjalanan ke Timur Indonesia
Entah, dunia punya caranya sendiri untuk menunjukan kita sesuatu yang menakjubkan. Sesuatu yang kita inginkan sejak lama kadang terjadi begitu saja dengan cara yang tidak disangka-sangka.
Siapa sangka rencana perjalanan (dinas) akhir tahun lalu ke Papua (yang akhirnya batal) bisa terwujud sekitar 6 bulan kemudian. Ya meskipun bukan ujung timur Indonesia tapi setidaknya gua pernah menginjakan kaki di tanah Papua, melihat secuplik kisah dimana matahari sudah menyingsing dikala orang-orang di Jakarta masih terlelap tidur. Maklum perbedaan waktu 2 jam lebih awal terkadang jadi problematika tersendiri juga.
Bicara soal perbedaan waktu, Alhamdulillah perjalanan gua ke Papua Barat, tepatnya Sorong, dilakukan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Perjalanan pesawat dari Jakarta dihabiskan selama sekitar 3,5 jam ditambah perbedaan waktu 2 jam sehingga total memakan waktu 5,5 jam. Dihitung-hitung puasa hari itu mendapat diskon 2 jam, lumayan. Nah tapi sewaktu pulangnya justru jadi surplus 2 jam wkwk.
Oke, secara singkat mungkin di tulisan ini gua akan menceritakan dua hal yang menurut gua menarik, satu tentang isu kesenjangan dan kedua tentang kopi (biar ga serius melulu hehe).
#Topik 1 Isu Kesenjangan
Mungkin, sebagian orang yang biasa tinggal di Jakarta dan Kota Besar lainnya menganggap wilayah Timur Indonesia sangat terbelakang, termasuk gua pada awalnya. Tapi di satu sisi gua melihat kalau potensi sumber daya alam di Timur Indonesia sangat melimpah, salah satunya daya tarik wisata alam yang rasanya ga ada habis-habisnya untuk buat kita bangga akan alam Indonesia.
Pada suatu waktu, gua berkesempatan ikut rapat dengan perwakilan pemerintah daerah Papua dan Papua Barat, dengan salah satu topik bahasan adalah perencanaan pembangunan Papua ke depannya. Gua tergelitik dengan salah seorang perwakilan pemda Papua yang berkata kalau secara umum Papua selalu berada di posisi paling bawah (juga untuk hal non statistik), karena seringkali penyajian informasi menunjukan sesuatu dari ujung Barat Indonesia baru ke bagian Timur. Hal yang kalau dipikir-pikir bener juga. Kemudian beliau juga berkata tentang standar perhitungan yang seringkali menggunakan standar Indonesia bagian Barat (mendekati Jakarta) yang jika secara kasar dilakukan perhitungan membuat Papua akan selalu berada diurutan terbawah. Hal inilah yang kemudian gua bawa ketika dinas ke Sorong untuk membuktikan kebenarannya.
Dan betul, pada salah satu pertemuan dengan perwakilan pemerintah daerah disana, keluar lagi argumentasi yang sama tentang pemaksaan standar wilayah Barat Indonesia dengan di wilayah Timur Indonesia. Ada beberapa variabel yang perlu diperhitungkan untuk bisa memberikan gambaran secara utuh tentang kondisi yang ada di Indonesia Timur.
Kondisi ini juga yang membuat begitu banyak “sumbangan” untuk wilayah Indonesia bagian Timur, tidak hanya dalam negeri tetapi juga dari donor Internasional. Hal positifnya Alhamdulillah jadi banyak yang bantu saudara-saudara kita disana. Tapi kalau dilihat secara jangka panjang, apa ini jadi hal yang baik?
catatan: oh ya, jangan dikira juga SDM disana semuanya rendah kualitasnya. Di suatu pertemuan dengan perwakilan pemerintah daerah, gua melihat kalau banyak diantara mereka yang kritis dan secara aktif berdiskusi untuk mencari solusi dari suatu permasalahan. Rasanya gua lebih melihat orang yang lebih tulus mengabdi buat bangsa dibanding yang ada di Jakarta wkwk (no offense ya hehe).
#Topik 2 Kopi
Rasanya ada yang kurang kalau main ke suatu daerah tapi ngga nyobain kopi khas di daerah sana. Iseng-iseng pas di jalan pulang dari Pantai Kasuari, akhirnya mampir di salah satu kedai kopi yang lebih kerennya lagi sebagai tempat roasting kopi juga (namanya kopikopi.soq) . Uniknya, kedai kopinya baru buka setelah taraweh. Hal yang rasanya sudah sangat jarang ditemui di Jakarta/Bogor dan sekitarnya.
Singkat cerita, setelah ngobrol-ngobrol sama pendiri sekaligus baristanya (kalo ga salah namanya Mas Fahmi), di Sorong ngopi bukan jadi kebiasaan masyarakat. Jadi wajar aja di sepanjang jalan gua jarang menemukan kedai kopi yang jual “kopi beneran”. Doi ngerintis kopi ini sudah sekitar 2 tahun. Awalnya dari gerobak kopi pinggir jalan (mirip-mirip kopi Djanggo lah kalo di Bandung) terus lama-lama bisa sewa tempat sekaligus beli mesin kopi. Cerita doi yang paling gua berkesan adalah, dia menggeluti dunia perkopian untuk ngerubah budaya teman-temannya (lingkungan sekitar doi) yang dulunya suka mabuk-mabukan jadi minum kopi pas lagi nongkrong atau touring. Kalau diliat di akun IG nya juga banyak kegiatan sosial yang dilakukan oleh Mas Fahmi dan teman-temannya.
Di akhir tulisan ini, gua cuma mau bilang sekaligus mengingatkan ke diri sendiri kalau masih ada segitu banyak hal yang bisa dipelajari di dunia ini. Baru ke beberapa tempat aja rasanya jadi semakin ngerasa bukan siapa-siapa. Rasanya ngebangun negeri ini juga bisa dengan berbagai cara sesuai kapasitas dan porsi kita masing-masing. Semangat lah !